![]() |
Ratusan warga menggelar aksi damai menolak putusan Pengadilan Agama Giri Menang bernomor perkara 215/Pdt.G/2024/PA.GM terkait sengketa aset tanah desa. |
LOMBOK BARAT, - Ratusan warga menggelar aksi damai menolak putusan Pengadilan Agama Giri Menang bernomor perkara 215/Pdt.G/2024/PA.GM terkait sengketa aset tanah desa. Alasannya, putusan tersebut dianggap cacat hukum.
Kepala Desa Sedau Amir Syarifudin menjelaskan, tanah yang kini menjadi polemik itu sejatinya adalah aset desa yang telah dibeli dari ahli waris oleh Sarisah, Kepala Desa saat itu, pada tahun 1998. "Sejak saat itu tidak pernah terjadi gugatan," tegas Amir.
Namun, situasinya berubah drastis. Gugatan muncul pada periode kepemimpinan Rahman, namun tak juga berhasil. Berlanjut di era pemerintahan Munahar, gugatan serupa kembali dilayangkan, dan lagi-lagi kandas. Uniknya, tanah ini sudah dikuasai Pemerintah Desa Sedau sejak tahun 1980.
Ironisnya, lahan inilah yang kini diklaim sebagai milik ahli waris. Namun salah satu warga bernama Inaq Iri menurut Kades mengaku terkejut dengan putusan tersebut. Ia bersikeras tidak pernah menggugat dan tidak pernah menandatangani berita acara apapun terkait sengketa tanah ini.
Menurutnya, alih kepemilikan tanah ini sudah berlangsung turun-temurun, dari Pak Gede ke Pak Nengah, lalu dari Pak Nengah ke Pak Sarisah selaku Kepala Desa. Namun, di sisi lain, pihak penggugat mengklaim bahwa lahan tersebut dulunya disewa oleh pemerintah desa.
Namun pernyataan ahli waris ini berbeda dari pengakuan warga yang bekerja di bendungan dekat lokasi lahan ini dulu. Lahan ini disebut-sebut sudah dijual.
Puncak polemik aset yang diklaim milik desa ini ketika pihak penggugat melakukan pemagaran di area sengketa, memicu kemarahan warga dan berujung pada aksi damai ini.
Padahal, Pemdes Sedau menilai ada kejanggalan lain yang terungkap dalam proses persidangan.
Amir membeberkan, dalam putusan Pengadilan Agama Giri Menang, objek yang dijadikan bahan pertimbangan justru atas nama Lalu Usman di Lombok Utara.
"Padahal objek yang disengketakan ada di Sedau," bebernya, menunjukkan adanya kesalahan fatal dalam identifikasi objek sengketa.
Anehnya, saat proses banding, putusan yang keliru tersebut justru diubah. Alhasil, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung mengacu pada putusan Pengadilan Agama Giri Menang yang awal. "Kami melihat ada salah objek sehingga ada cacat hukum," nilai Amir, menyoroti adanya keanehan dalam alur hukum.
Meskipun merasa dirugikan, Pemerintah Desa Sedau tak tinggal diam. "Kami akan melakukan upaya hukum," kata Amir.
Namun, di saat bersamaan, pihaknya juga memberikan hak kepada masyarakat untuk tetap memanfaatkan lahan tersebut. "Sampai saat ini belum ada putusan dan eksekusi dari Pengadilan Agama," jelasnya.
Di sisi lain, Zubaidi, kuasa hukum penggugat Rene, memiliki pandangan yang berbeda. Ia menegaskan bahwa pihaknya adalah pemenang dalam sengketa ini, mulai dari tingkat pertama, kedua, hingga Mahkamah Agung. "Kami tidak mau melakukan hal di luar kaidah hukum," ujar Zubaidi. Ia menambahkan, jika pemerintah desa dan pihak terkait merasa keberatan, silahkan menempuh proses hukum yang berlaku.
"Kami saat ini sedang garap proses eksekusinya dan kami akan ajukan ke pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama. Mohon hargai proses hukumnya. Agar kita sebagai masyarakat tidak ingin ada hal yang tidak terjadi," tuturnya.
Luas lahan yang disengketakan bersama kepala desa ini diperkirakan mencapai 60 are. Terkait penolakan warga, Zubaidi menyatakan pihaknya tidak memiliki masalah dengan aksi tersebut. "Kami hanya mengikuti proses hukum," pungkasnya. (gl 02)
Komentar0