*GpA0GUC5TSAoGSM6GUG0BSriTi==*

Pendaki Brasil Jatuh di Rinjani: Ini Penjelasan Sains

Pendaki
Puncak tertinggi gunung Rinjani 

GLOBALLOMBOK.COM _ Kejadian nahas menimpa seorang pendaki asal Brasil, Juliana Marins (27), yang diduga tewas setelah terjatuh ke jurang sedalam sekitar 400 - 600 meter di dekat kawah Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat pada Sabtu (21/6/2025).

Insiden ini, yang terjadi saat pendaki Juliana mendaki bersama rombongan, menyoroti kembali risiko tak terduga yang mengintai para petualang di gunung.

Meskipun tim SAR gabungan telah menemukan posisi korban, evakuasi menghadapi tantangan berat akibat medan ekstrim dan cuaca buruk.

Kementerian Pariwisata telah memerintahkan penguatan prosedur operasional standar dan pengawasan pemanduan di destinasi ekstrem demi keselamatan wisatawan.

Namun, di balik setiap insiden tragis, ada ilmu yang menjelaskan mengapa tubuh kita bisa kehilangan keseimbangan di tengah jalur gunung yang menantang. 

Apa saja faktor ilmiah yang berkontribusi pada peristiwa jatuh di pegunungan?

Menganalisis Bahaya Pendakian: Statistik di Balik Insiden Jatuh Meskipun pendakian gunung menawarkan keindahan alam yang memukau, insiden jatuh merupakan risiko yang patut diwaspadai. 

Sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam BMJ Open Sport and Exercise Medicine oleh peneliti di University of Innsbruck mengungkapkan data mengejutkan dari kepolisian Austria.
Antara tahun 2006 dan 2014, tercatat 5.368 panggilan terkait pendaki yang terjatuh, dengan 331 di antaranya berakibat fatal. Angka ini tidak mencakup kegiatan ekstrem seperti mountaineering, skiing, atau wingsuit flying, melainkan hanya insiden jatuh saat mendaki.

Bahaya pendakian seringkali berkaitan dengan skala partisipasi. Diperkirakan sekitar 40 juta orang setiap tahun mengunjungi Pegunungan Alpen pada ketinggian di atas 6.500 kaki. Mayoritas dari mereka adalah pendaki, sebagian besar dengan pengalaman minimal dan kondisi fisik yang kurang prima.

Tingginya jumlah partisipan ini berarti bahwa meskipun pendakian relatif aman, kemungkinan kecil kecelakaan tetap dapat menghasilkan angka yang signifikan. Sebagai contoh, sebuah studi di Prancis tahun lalu menemukan bahwa hanya 4 persen dari kecelakaan pendakian di jalur yang membutuhkan panggilan penyelamat gunung berakhir dengan kematian.

Angka ini, seperti dilansir laman outsideonline.com, jauh lebih rendah dibandingkan dengan whitewater yang mencapai 35 persen kematian, atau BASE-jumping dengan 47 persen kematian.
Namun, karena perbedaan tingkat partisipasi, pendakian justru menjadi penyebab utama kematian terkait olahraga di Swiss, menyumbang 25 persen dari total, jauh lebih tinggi dibandingkan mountaineering (17 persen) atau BASE jumping (1,8 persen).

Pola Kecelakaan: Dari Jalur Menurun hingga Perilaku Berisiko Data dari Polisi Alpine Austria memberikan gambaran yang lebih jelas tentang pola insiden jatuh ini. Yang menarik, lebih dari 75 persen insiden jatuh terjadi saat menuruni jalur, berbanding terbalik dengan 20 persen saat mendaki dan hanya 5 persen di jalur datar.

Beberapa faktor kemungkinan berkontribusi pada fenomena ini, seperti kecepatan gerak yang lebih tinggi saat menuruni bukit, beban tidak biasa pada otot paha depan, dan kelelahan setelah pendakian. Mengejutkan lainnya, sekitar 90 persen kecelakaan terjadi dalam kondisi cuaca cerah, tanpa hujan, kabut, atau kegelapan.

Selain itu, 81 persen insiden terjadi di jalur atau jalan yang sudah ditandai, meskipun 61 persen di antaranya melewati medan berbatu. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar pendaki yang mengalami kecelakaan sebenarnya sudah mengikuti prosedur yang seharusnya.

Studi ini juga menyoroti perbedaan gender dalam insiden jatuh. Wanita menyumbang lebih dari separuh total kecelakaan, yaitu 55 persen dari kecelakaan non-fatal, namun hanya 28 persen dari kecelakaan fatal. Ini mungkin terkait dengan perilaku berisiko. Pria secara signifikan lebih mungkin mengalami kecelakaan pendakian di luar jalur dibandingkan wanita.

Meskipun tidak ada pembagian gender yang pasti dari total populasi pendaki di Pegunungan Alpen Austria, para peneliti mengasumsikan proporsi pria-wanita sekitar 60-40. Berdasarkan asumsi ini, wanita hampir dua kali lebih mungkin untuk melaporkan kecelakaan tidak fatal, namun hanya setengah kemungkinannya untuk menderita kecelakaan fatal.
Temuan ini selaras dengan studi lain tentang perilaku berisiko di alam liar, seperti pengamatan di Sungai Merced, Yosemite, di mana "pria, remaja, dan orang yang sendirian" adalah pelaku paling umum dalam memasuki area berisiko tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa pria dua kali lebih mungkin daripada wanita untuk mengambil risiko.

Kesimpulannya, sangat penting bagi pendaki untuk tetap waspada dan berhati-hati bahkan ketika mereka tidak merasakan bahaya yang jelas, terutama saat menuruni jalur dan terlepas dari kondisi cuaca yang baik.

Komentar0

Type above and press Enter to search.

PT. GLOBAL SWARA RAKYAT